Jangan Gampang Bilang Bi'dah
Judul : SMS Abu-Abu: Salafi Melawan Salafi
Penulis : Syarif Rahmat RA (personal), Ghofar Ismail (Editor)
Penerbit : Sabila Press Ummul Qura'
Catakan : Kelima, 2013
Tebal : 190 halaman
ISBN13 : 9786029593815
Review : Badru Zaman
Sebuah Potret
Khaled Abou El-Fadl geram, saat membuka dialog-dialog mengenai upaya Syariah dalam memecahkan problem kontemporer pada wilayah kerangka esensi. Ia divonis kafir dan murtad oleh banyak ulama Saudi. Bagi Khalid—yang memang besar di Barat, tuduhan-tuduhan itu hanya jawaban dari 'orang yang kalah debat.'
Khaled—nama panggilannya, merasa ada kesenjangan pemahaman syariah yang terlalu rigid di Saudi, dikurung dalam kerangka politis, yang terlalu rapat pada pintu penutupan ijtihadiyah. Baginya, lembaga fatwa Saudi hanya mengatasnamakan diri sebagai "wakil Tuhan," dengan begitu semua fatwanya harus dipatuhi seluruh pengikut Wahhabi (salafi. red). Khalid lahir di Kuwait, belajar semua ribuan kitab kuning juga di negeri sendiri. Hanya karena ia mengembangkan diri di luar, ia dianggap sesat, atau orientalis yang "pintar" kitab. Khalid menganggap bahwa Fikih ala 'ulama Saudi' terlalu 'otoriter'.
Agus Maftuh Abi Gabriel juga memiliki pendapat yang hampir sama. Baginya Wahhabi terlalu mengedepankan otot dari pada dialog. Agus Maftuh sendiri, adalah orang yang sangat mobile. Kuwait, Qatar, Saudi, dan hampir seluruh tanah Arab pernah dijelajahi. Ia barangkali menjadi satu-satunya cendekiawan muslim yang sangat jarang pulang ke Indonesia. Petualangan dalam penelitiannya, yang didukung kemampuan bahasa Arab, membuatnya sering dicalonkan untuk duta besar. Wajar kalau dia bisa menyimpulkan Wahhabi dengan stigma,"sebuah aliran yang banyak taklid dan para muqollid."
Harus diakui, memang tidak ada maksud untuk Syarif Rahmat, untuk menistakan Sheikh Nasirudin rahimahulllah, Sheikh Bin Baz rahimahulllah, dan Sheikh Utsaimin rahimahulllah. Jika sarjana syariah melihat bagaimana dialog tersebut tergambar, maka sangat aneh dan kaku. Wilayah furuiyah bagi orang yang sejalan dari pemahaman ketiga tokoh ini, akan menjadi cempleng dan cenderung merasa paling benar sendiri jika dihadapkan dengan pendapat yang biasa ada di negeri ini.
Seakan penganut Wahhabi menjadi satu-satunya ahli surga yang lurus, Wahhabi membungkus dengan doktrin semua bid'ah sesat. Semua yang sesat di Neraka. Wajar kalau penganut Salafi gampang banget membuat stempel—selain mereka, adalah penghuni neraka, yang seakan menjadi 'wakil Tuhan' dalam rangka penilaian siapa yang paling berhak atas surga.
Mengkaji lembar demi lembar sebuah dialog
Berbeda dengan dua tokoh yang telah disebut, Syarif Rahmat mencoba untuk melihat garis-garis pemisah antara Salafi-Wahhabi dengan dialog. Membandingkan bagaimana fatwa-fatwa ketiga pembesar Saudi yang sudah 'mencemari' masyarakat Indonesia, malah saling kontradiktif. Misalnya dalam penggunaan penutup kepala—sebut saja peci—saat sholat. Ada seorang petinggi tokoh Salafi yang mengatakan makruh jika tidak memakainya, dan ada yang hanya sekedar membolehkan (Hal 81-83). Lalu masalah furuiyah lain yang berkaitan dengan berjabat tangan setelah sholat berjamaah, mendapat respon yang sangat keras. Ketiga pendapat sangat curam dirasakan (118-120).
Masih terkait dengan buku, ada 40 kontradiksi yang dituangkan mengapa kerancuan ijtihad mereka tergolong rumit. Dengan begitu, para pegiat syariah dapat membandingkan satu demi satu bagaimana kerumitan benang itu di-urai menjadi benang-benang yang lebih bisa dipahami bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Yang paling menarik, pada bagian kata pengantar diisi oleh Nasaruddin Umar. Kapasitasnya sebagai Dirjen Bimas DEPAG, saat luas cara pandangnya terhadap salafi. Bahkan tampaknya ada pembedaan khusus antara Salafi dan Wahhabi (double h).
Bagi Nasarudin Umar, sebenarnya buku ini hadir sebagai 'peta dialektika pemikiran' yang seharusnya ini akan selalu memperkaya khazanah Islam di Indonesia. Nasarudin memahami lebih jauh, bahwa Wahhabi—barangkali dengan melihat kepada Syeikh ibn Abdullah ibn Abdul Wahhab, pemikiran mereka tentang cara ibadah memiliki argumentasi yang kuat, dengan muara Qur'an maupun Hadits. Jadi mengapa harus 'terlalu curam' jika pada muara yang sama. Bahkan sikap toleran ini sudah terlihat dalam pembukaan anak judul, "Memahami Keragaman Pemahaman Keislaman."
Syekh Muhammad Nasirudin Al Albani, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Ada memang satu syekh lagi yang juga memiliki pengikut di negeri ini yaitu Syekh Muqbil bin Hadi Al Madkhali dari Shan’a Yaman. Dialog para panutan Wahhabi hadir dalam buku setebal 190 halaman, yang ditulis Syarif Rahmat. Seorang da'i yang juga seorang pegiat tahfidz dari Indonesia.
Anak Kampus VS Anak Pondok
Bertolak dari pendapat Nasaruddin, saat buku ini hadir ke tangan peresensi, dalam keadaan yang kurang layak. Buku yang sudah mengalami lima kali cetak, justru banyak—bahkan terlalu banyak, ejaan bahasa Indonesia yang keliru. Patut dipertanyakan, apakah editor bekerja atau hanya menjadi layouter saja, yang membuat mata ini menjadi kurang bisa menikmati satu demi satu uraian kata. Selain itu, buku ini juga kurang ter-navigasi dengan baik, karena sistematika penulisan yang carut-marut. Pengulangan tema dan topik, masih saja perlu menjadi catatan khusus dalam rangka perbaikan untuk cetakan berikutnya.
Bagi anak pondok yang sudah akrab dengan kitab, sistematika penulisan buku ini dengan model hirarti, menjadi hal yang sangat biasa. Ada muqoddimah—atau yang biasa disebuat dengan catatan muallif, lalu pengenalan biografi para tokoh pembesar Wahhabi kekinian yang menjadi obyek dialog, kemudian tak ada penutup. Yang ada hanya biografi Syarif Rahmat pada belakang cover buku.
Bagi anak kampus, model seperti ini menjadi unik. Tidak ada sistematika penulisan, urgensitas sebuah buku yang perlu ditampilkan, penutup atau kesimpulan, dan lain-lain. Daftar pustaka juga harusnya bisa dilengkapi—dalam buku ini, karena ada sekitar 63 catatan kaki.
Akhirnya, meski demikian. Kita patut memberikan sambutan hangat kepada penulisnya, dalam rangka setitik pencerahan, bagaimana upaya mendewasakan para pegiat harokah untuk membuka mata, bahwa setiap manusia pasti ada kekurangan, karena di-rilis bukan oleh seorang Nabi. Para mufti, para mujtahid, hanya berusaha sekuat tenaga, bagaimana sebuah problematika ummat Islam bisa menjadi solusi, dengan 'tidak banyak tercemar' unsur politis.
Membuka dialog, mengesampingkan prasangka
Seorang ulama di Pakistan—yang enggan disebut namanya, juga pernah diajukan pertanyaan seputar perbedaan mazhab, dan kecenderungan mazhab tertentu untuk mem-vonis bid'ah gerakan Islam lain. Sederhana ulama besar ini menjawab, bahwa, "perbedaan yang dimaksud justru memperkaya keislaman. Semua sunnah Nabi Saw menjadi lebih terpelihara. Ada Subuh dengan Qunut, dan ada juga yang tidak. Ada adzan Subuh yang hanya sekali, dan ada dua kali—adzan fajar kizib (red.). Yang tepenting, adalah jangan saling menuding sesat."
"Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.Jika mereka bertobat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui." (Qs.Attaubah [9]; 10-11)
Wallahu a'lam
0 Response to "Jangan Gampang Bilang Bi'dah"
Post a Comment