Bukan Hanya untuk “Orang Kaya”
Ada orang yang kurang paham, dengan menyangka Islam hanya bagi orang-orang kaya saja. Seluruh ibadah yang dikerjakan, memerlukan uang. Cara pikir yang demikian, seolah Islam menjadi agama yang “materilistis” hanya untuk “kaum borjuis” saja. Padahal, jika seseorang tidak mampu membeli pakaian yang bagus, pakaian lusuh pun boleh untuk sholat berjamaah ke masjid, asalkan menutup aurat. Shalat sendiri juga tidak perlu biaya. Sama seperti dzikrullah. Berdzikir kepada Allah adalah ibadah ringan, tidak perlu biaya, tidak mengeluarkan tenaga yang berat, namun pahala yang didapat sangat besar.
Begitu pula dengan ibadah haji. Haji diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan hanya sekali seumur hidup. Seperti yang disebutkan dalam Ali Imran ayat 97. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Yaitu, orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani-rohani dan perjalanan pun aman.
Meski demikian, spirit Islam mengajarkan agar pemeluk agamanya agar menjadi “orang kuat.” Kuat dalam Ilmu, semangat dalam menjemput nafkah, kuat juga dalam ibadah, kuat dalam ekonomi. Sebagai mana Rasulallah Saw sabdakan, “hamba yang kuat, lebih dicintai Allah daripada hamba yang lemah.” Maksudnya agar ibadah-ibadah yang membutuhkan harta, juga bisa ditunaikan para pemeluknya.
Allah Swt yang mengatur keadaaan-keadaan. Ia yang menjadikan hamba-Nya menjadi orang yang banyak harta dan sebaliknya. Jika Islam hanya dipahami sebagai “agama borjuis,” maka orang miskin akan protes mengapa ia diberikan keadaan yang demikian. Padahal orang miskin juga sudah berusaha keras agar nasibnya berubah. Begitu pula orang yang sedang dalam perjalanan. Jika dipaksa shalat padahal tidak memungkinkan untuk berdiri di atas bus yang sedang berjalan, maka shalat akan ditinggalkan orang yang ada dalam bus itu. Dari itulah, Allah Swt memberikan kemudahan agar boleh mengerjakan shalat sambil duduk mengikuti arah bus (tetap memandang ke depan).
Hadis diriwayat oleh Tirmidzi, bahwa Nabi Saw pernah ditawari agar gunung-gunung di Makkah berubah jadi emas. Namun beliau malah tetap meminta agar keadaannya lebih suka makan sehari, lalu esok harinya lapar. Agar ketika lapar, ia dapat merengek kepada Allah Swt, saat kenyang baginda dapat bersyukur. Sebab, keadaan kenyang sepanjang waktu, dapat saja melalaikan seseorang dari rasa syukur. Bahkan dalam riwayat lain, Nabi Muhammad Saw pernah diberikan pilihan agar menjadi Nabi “yang raja” atau sebaliknya, Nabi “yang hamba.” Jika Nabi memilih untuk menjadi Nabi “yang raja” maka ummatnya pasti meniru-niru “perilaku raja.” Jika demikian, orang-orang yang miskin, yang lemah, tidak akan mampu mengikuti ajaran beliau. Artinya, apa pun keadaan seorang muslim, perlu bersabar saat kesusahan melanda dan bersyukur saat lapang.
Tidak Rasis
Allah Swt menciptakan manusia berbangsa-bangsa. Dengan ras dan warna kulit yang berbeda. (Qs. Al-Hujurat ayat 13). Kecuali Adam a.s dan Hawa, manusia lahir dari rahim seorang ibu. Mereka berkulit coklat, hitam, kuning langsat atau putih, adalah kehendak dari Sang Pencipta. Jika memang ada pilihan, tentunya semua orang ingin agar lahir dari keluarga bangsawan, terhormat, dan rupawan. Namun sayangnya, tidak semua orang lahir ke dunia ini bernasib baik. Ada yang lebih dan ada “yang terlihat cacat.”
Bangsa Arab di mata Allah Swt adalah hambanya yang biasa saja. Ia tidak menjadi “sangat mulia” hanya karena dari ras Arab. Jika Allah Swt memuliakan mereka, tentu muslim bangsa lain akan merasa iri, karena bukan dari ras tersebut. Dari itulah Allah Swt memandang manusia bukan karena rupa, bukan juga karena merdunya suara, tapi Allah Swt memandang pada hati dan amaliah para hamba-Nya.
Pada hari Hisab (perhitungan amal) nanti, ada beberapa orang yang keturunan Nabi-nabi malah akan digiring ke Neraka, karena dosa yang mereka kerjakan. Jadi tidak ada jaminan keturunan yang baik akan selamat, kecuali amal individu sewaktu hidupnya.
Pada saat shalat berjamaah, warna kulit hitam atau putih, orang dianugerahi dengan harta yang banyak maupun orang miskin, semua ruku’ dan sujud mengikuti gerakan imam. Suku apa pun ia dalam barisan shalat, tidak dibedakan sama sekali, karena menyembah Allah yang sama. Begitu pula dalam pelaksanaan ibadah haji. Semua jamaah memakai kain ihram warna putih tanpa berjahit. Sebab jika berjahit, bisa saja orang kaya akan memakai jahitan dari benang bercampur emas, sehingga lebih merasa kaya dan terhormat dari yang lain. Padahal Allah Swt yang Maha kaya. Semua hamba-Nya sama kedudukannya, kecuali iman dan amal shalih mereka.
Ajaran Kerendahan Hati
Abu bakar r.a mempunyai kebiasaan membantu untuk memerah susu kambing untuk janda-janda tua. Ia mendatangi rumah beberapa janda semasih Rasulallah Saw masih hidup. Kebiasaan ini bahkan tetap dilakukan saat ia sudah menjadi khalifah. Suatu ketika, Abu bakar r.a mendatangi rumah salah seorang janda tua, namun yang membukakan pintu cucu nenek pemilik rumah. Dengan polosnya, anak perempuan yang masih kecil itu mengadukan kepada neneknya, bahwa si pemerah susu sudah datang. Nenek itu menegur cucunya kalau Abu bakar r.a adalah khalifah, seorang raja—maksudnya bukan orang biasa. Namun Abu bakar r.a tetap tersenyum sembari melanjutkan kebiasaannya. Beliau berkata pada nenek tua,”biarkan anak itu telah menggambarkan dengan amalku yang paling disukai Allah Swt.”
Dari kisah ini, bahwa setiap muslim hendaknya memiliki sikap seperti Abu bakar r.a. Bukan karena sudah menjadi orang yang terhormat, punya kedudukan, lantas merasa terhina jika melakukan perbuatan baik namun terasa rendah. Perilaku melayani rakyat, bukan berarti menjatuhkan martabat seseorang. Bisa jadi Allah Swt memandang amal-amal yang ringan, remeh-temeh, namun karena keikhlasan yang tinggi, justru Allah Swt memuliakan dan mengampuni dosa hamba-Nya.
Ada orang yang kurang paham, dengan menyangka Islam hanya bagi orang-orang kaya saja. Seluruh ibadah yang dikerjakan, memerlukan uang. Cara pikir yang demikian, seolah Islam menjadi agama yang “materilistis” hanya untuk “kaum borjuis” saja. Padahal, jika seseorang tidak mampu membeli pakaian yang bagus, pakaian lusuh pun boleh untuk sholat berjamaah ke masjid, asalkan menutup aurat. Shalat sendiri juga tidak perlu biaya. Sama seperti dzikrullah. Berdzikir kepada Allah adalah ibadah ringan, tidak perlu biaya, tidak mengeluarkan tenaga yang berat, namun pahala yang didapat sangat besar.
Meski demikian, spirit Islam mengajarkan agar pemeluk agamanya agar menjadi “orang kuat.” Kuat dalam Ilmu, semangat dalam menjemput nafkah, kuat juga dalam ibadah, kuat dalam ekonomi. Sebagai mana Rasulallah Saw sabdakan, “hamba yang kuat, lebih dicintai Allah daripada hamba yang lemah.” Maksudnya agar ibadah-ibadah yang membutuhkan harta, juga bisa ditunaikan para pemeluknya.
Allah Swt yang mengatur keadaaan-keadaan. Ia yang menjadikan hamba-Nya menjadi orang yang banyak harta dan sebaliknya. Jika Islam hanya dipahami sebagai “agama borjuis,” maka orang miskin akan protes mengapa ia diberikan keadaan yang demikian. Padahal orang miskin juga sudah berusaha keras agar nasibnya berubah. Begitu pula orang yang sedang dalam perjalanan. Jika dipaksa shalat padahal tidak memungkinkan untuk berdiri di atas bus yang sedang berjalan, maka shalat akan ditinggalkan orang yang ada dalam bus itu. Dari itulah, Allah Swt memberikan kemudahan agar boleh mengerjakan shalat sambil duduk mengikuti arah bus (tetap memandang ke depan).
Hadis diriwayat oleh Tirmidzi, bahwa Nabi Saw pernah ditawari agar gunung-gunung di Makkah berubah jadi emas. Namun beliau malah tetap meminta agar keadaannya lebih suka makan sehari, lalu esok harinya lapar. Agar ketika lapar, ia dapat merengek kepada Allah Swt, saat kenyang baginda dapat bersyukur. Sebab, keadaan kenyang sepanjang waktu, dapat saja melalaikan seseorang dari rasa syukur. Bahkan dalam riwayat lain, Nabi Muhammad Saw pernah diberikan pilihan agar menjadi Nabi “yang raja” atau sebaliknya, Nabi “yang hamba.” Jika Nabi memilih untuk menjadi Nabi “yang raja” maka ummatnya pasti meniru-niru “perilaku raja.” Jika demikian, orang-orang yang miskin, yang lemah, tidak akan mampu mengikuti ajaran beliau. Artinya, apa pun keadaan seorang muslim, perlu bersabar saat kesusahan melanda dan bersyukur saat lapang.
Tidak Rasis
Allah Swt menciptakan manusia berbangsa-bangsa. Dengan ras dan warna kulit yang berbeda. (Qs. Al-Hujurat ayat 13). Kecuali Adam a.s dan Hawa, manusia lahir dari rahim seorang ibu. Mereka berkulit coklat, hitam, kuning langsat atau putih, adalah kehendak dari Sang Pencipta. Jika memang ada pilihan, tentunya semua orang ingin agar lahir dari keluarga bangsawan, terhormat, dan rupawan. Namun sayangnya, tidak semua orang lahir ke dunia ini bernasib baik. Ada yang lebih dan ada “yang terlihat cacat.”
Bangsa Arab di mata Allah Swt adalah hambanya yang biasa saja. Ia tidak menjadi “sangat mulia” hanya karena dari ras Arab. Jika Allah Swt memuliakan mereka, tentu muslim bangsa lain akan merasa iri, karena bukan dari ras tersebut. Dari itulah Allah Swt memandang manusia bukan karena rupa, bukan juga karena merdunya suara, tapi Allah Swt memandang pada hati dan amaliah para hamba-Nya.
Pada hari Hisab (perhitungan amal) nanti, ada beberapa orang yang keturunan Nabi-nabi malah akan digiring ke Neraka, karena dosa yang mereka kerjakan. Jadi tidak ada jaminan keturunan yang baik akan selamat, kecuali amal individu sewaktu hidupnya.
Pada saat shalat berjamaah, warna kulit hitam atau putih, orang dianugerahi dengan harta yang banyak maupun orang miskin, semua ruku’ dan sujud mengikuti gerakan imam. Suku apa pun ia dalam barisan shalat, tidak dibedakan sama sekali, karena menyembah Allah yang sama. Begitu pula dalam pelaksanaan ibadah haji. Semua jamaah memakai kain ihram warna putih tanpa berjahit. Sebab jika berjahit, bisa saja orang kaya akan memakai jahitan dari benang bercampur emas, sehingga lebih merasa kaya dan terhormat dari yang lain. Padahal Allah Swt yang Maha kaya. Semua hamba-Nya sama kedudukannya, kecuali iman dan amal shalih mereka.
Ajaran Kerendahan Hati
Abu bakar r.a mempunyai kebiasaan membantu untuk memerah susu kambing untuk janda-janda tua. Ia mendatangi rumah beberapa janda semasih Rasulallah Saw masih hidup. Kebiasaan ini bahkan tetap dilakukan saat ia sudah menjadi khalifah. Suatu ketika, Abu bakar r.a mendatangi rumah salah seorang janda tua, namun yang membukakan pintu cucu nenek pemilik rumah. Dengan polosnya, anak perempuan yang masih kecil itu mengadukan kepada neneknya, bahwa si pemerah susu sudah datang. Nenek itu menegur cucunya kalau Abu bakar r.a adalah khalifah, seorang raja—maksudnya bukan orang biasa. Namun Abu bakar r.a tetap tersenyum sembari melanjutkan kebiasaannya. Beliau berkata pada nenek tua,”biarkan anak itu telah menggambarkan dengan amalku yang paling disukai Allah Swt.”
Dari kisah ini, bahwa setiap muslim hendaknya memiliki sikap seperti Abu bakar r.a. Bukan karena sudah menjadi orang yang terhormat, punya kedudukan, lantas merasa terhina jika melakukan perbuatan baik namun terasa rendah. Perilaku melayani rakyat, bukan berarti menjatuhkan martabat seseorang. Bisa jadi Allah Swt memandang amal-amal yang ringan, remeh-temeh, namun karena keikhlasan yang tinggi, justru Allah Swt memuliakan dan mengampuni dosa hamba-Nya.
0 Response to "Keuntungan Menjadi Seorang Muslim (II)"
Post a Comment