KHES ; Angin Baru Dinamika Hukum Islam di Indonesia
Oleh : Badru Zaman, S.H.I.
Ketika mendekati Qur'an dengan Hukum Islam, maka tampak Qur'an seperti sebuah samudera yang terlalu luas dipahami. Kajian parsial yang penulis lakukan tampak seperti sebuah aturan yang jika dibumikan dalam konteks keindonesiaan menjadi sangat sukar. Hukum Islam—terlebih Pidana Islam—yang sudah mengambil intisari Qur'an, hanya bisa sekedar wacana, tidak berubah bentuk menjadi hukum yang sesungguhnya. Hukum Islam dalam menerjemahkan kemauan Tuhan yang tertuang dalam Qur'an, hanya menjadi "utopia wajah hukum" dan menempati posisi "recomended" saja. Apalagi jika merambah pada wilayah muamalat.
Angin segar bagi para pengkaji hukum Islam pada wilayah muamalat mulai bertiup kembali. Tahun 2006 menjadi tahun yang sigifikan kala gagasan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) bergulir. Langkah positifisasi—meminjam istilah Abdul Mughits—dalam wilayah muamalat ditandai dengan adanya payung hukum kegiatan muamalat di tanah air. Hal-hal yang belum selesai dalam kegiatan ekonomi Islam, bisa benar-benar diatur, meskipun ada beberapa catatan khusus. Misalnya soal Akad yang dalam KHES dinilai kurang rinci dan cenderung berputar pada terminology (Abdul Mughits : 2008).
Senada dengan hal ini, Taufik R. Syam—selanjutnya disebut dengan Taufik saja, menilai KHES yang dimotori Abdul Manan, adalah upaya penyesuaian tentang perluasan dari wewenang Peradilan Agama (PA) dalam menangani "sengketa" Syariah. Taufik mengutip dari undang-undang No 3 tahun 2006 tentang perluasan wewenang PA yang juga melingkupi wilayah; perkawinan, waris, wasiat, hibah dan wakaf yang selama ini masih tarik-menarik dengan Peradilan Umum (PU) yang ada dibawah MA. (Taufik R. Syam: t.t.)
Sejenak melihat ke belakang. Jika sudah memasuki wilayah sengketa, ada banyak kebuntuan-kebuntuan hukum. Contoh sederhana misalnya sengketa pada BMT. Dalam karya skripsi Kasihasih yang berjudul, Kebijakan BMT BIF Gedongkuning dalam Menyelesaikan Kredit Macet, bahwa selama ini upaya dari penyelesaian sengketa antara nasabah dengan pihak BMT, hanya didasarkan pada kekeluargaan semata. Langkah pertama nasabah yang mengalami kredit macet, diberikan surat teguran satu kali. Hingga surat yang ketiga, barulah ada upaya penyitaan, yang kemudian dilanjutkan ke jalur hukum privat, bila masih berlanjut (Kasihasih; 2007). Atau dengan istilah lain jalan "arbitrase." Upaya klasik ini cocok pada wilayah "kekeluargaan" pada "wilayah kebijakan" bukan "wilayah hukum" yang baku.
Pada akhirnya KHES menjadi pegangan bersama yang bisa menjadi "penengah" dan "penjelas" apa dan bagaimana seharusnya regulasi Ekonomi Syariah dilakukan. Karena lahirnya KHES secara aklamasi diambil dari beberapa praktisi, bukan hanya "Tim Kecil" seperti draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) dulu yang penuh prahara, KHES tidak menuai konflik tajam.
Kompilasi Hukum yang "Bersih dari Politik"
Kiranya perlu dilirik sejenak, bahwa menurut Nasarudin Umar, selama ini bias jender pada wilayah hukum Islam, terjadi karena adanya perpindahan ibukota. Dahulu, Bani Umayyah memilih Damaskus, lalu berganti menjadi Baghdad pada era Bani Abbasiyah. Perubahan ini yang menjadi wilayah "pencemaran" dalam memandang gender—yang kesimpulan penulis—berpengaruh pada pembentukan hukum Islam (Nasarudin Umar: 2002). Hal yang sama juga dikuatkan dengan kritik dari Marzuki Wahid, bahwa kelahiran hukum selalu dicemari politik atau penguasa pada waktu itu (Marzuki Wahid: 2001).
Sekilas melihat geliat politik era pemerintahan ini—saat makalah ini ditulis, lebih memberikan ruang terbuka pada wilayah Hukum Islam. Tidak ada aktifitas "yang mencolok" membuat Hukum Islam semakin tergusur dan terkunci pada satu titik tertentu. Sekali pun ada sebuah upaya pembaruan, sudah dilakukan beberapa dialog nyata. Yang baik diambil, yang kurang baik disingkirkan.
Iklim demokrasi pada era ini, menjadi "lebih segar" dan "berwarna." Dengan sikap pemerintah yang lebih banyak bersikap "diam" dalam upaya pengembangan ekonomi Islam dan hukum Islam, justru mempercantik demokrasi yang sesungguhnya. Barangkali kita masih ingat, pada masa-masa lalu ada presiden di negeri ini tampil menjadi "guru demokrasi" yang justru pada akhir masa jabatannya, malah membuat partainya terbelah ke sana-sini. Wilayah keagamaan menjadi campur lebur, yang tentu saja waktu itu, jika ada produk hukum lahir "pasti tercemar" hiruk-pikuk politik. Bangsa ini sudah cerdas bisa membedakan "sesuatu yang kental dengan politik" dan yang bukan. Seperti harapan Suryadharma Ali yang dikutip Republika, " dapat membuat bangsa Indonesia bisa lebih peka terhadap perkembangan hukum Islam."
Harapan dari "Angin Baru" KHES
Angin Baru KHES akan semakin memantapkan ekonomi berbasis syariah, terutama aspek perbankan—yang saat ini masih jadi motor penggerak utama. Seperti yang sempat penulis singgung sebelumnya, bahwa wilayah PA menjadi carut-marut dalam kerja peradilan yang menyangkut syariah. Peradilan Umum, yang secara nyata kurang memahami wilayah syariah malah "serakah." Ada tarik menarik seperti yang sempat disinggung Taufik tadi.
Contoh yang lebih sederhana misalnya masalah hibah. Hibah memang terminologi dari Islam yang melebur menjadi istilah keindonesiaan. Pada prakteknya hibah bagi hukum Islam secara sederhana adalah sebuah pemberian yang "hampir sejenis" dengan sedekah tapi bukan penuh syarat layaknya sewa-menyewa (ijarah). Hibah, jika sudah diserahkan tidak boleh diminta kembali karena dapat menimbulkan sengketa (Armia Hidayah: 2008). Hibah juga tidak boleh dipersyaratkan—untuk ditarik lagi. Sementara dalam KUHPer—adalah diperbolehkan bagi Si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan. (Pasal 1669 KUHPer). Nah, dalam KHES pasal 727 dan 728, bahwa hibah intinya tidak boleh diambil kembali jika sudah diserahkan dengan alasan apa pun. Hibah juga menurut KHES tidak boleh dipersyaratkan soal waktu yang akan datang (pasal 709).
Upaya MA untuk menjembatani Peradilan Agama dan Peradilan Umum, dengan membentuk tim khusus KHES tampaknya membuahkan hasil. Secara pembentukan hukum, sekilas, tidak nampak adanya unsur politis dalam KHES. Tidak juga didapati "gerakan terlarang" yang memaksakan diri untuk mengambil momentum dalam rumusan, meski hanya dalam 1 tahun, KHES "sudah jadi." Bandingkan dengan draft KHI tahun 2004 silam, yang terselubung "Silent Shiah for Killing Sunni with Muth'ah."
Dengan demikian, hadirnya KHES menjadi kado terbaik untuk para akademisi, praktisi, pengiat syariah, serta masyarakat pada umumnya. Tidak terpaku pada jargon, Hukum Islam milik orang Islam, Hukum non-Islam milik "mereka." Meskipun begitu, ada banyak yang perlu dikritisi dari poin-poin KHES. Mungkin, penulis tegaskan "mungkin saja," dalam proses KHES tercemar dengan KUHP atau KUHPer atau undang-undang dan peraturan yang lain. Adalah sangat wajar jika sebuah produk hukum "tercemar" jika ditinjau dari disiplin ilmu antropologi hukum. Sebuah produk hukum, hanyalah upaya untuk membuat standarisasi hukum yang tujuannya untuk bisa dipatuhi bersama. Bukan seperti pada pandangan umum, bahwa hukum Islam hanya "recomended" saja bagi mereka penganut Islam.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
DAFTAR BACAAN
Abdul Mughits, Kompilasi hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) Dalam Tinjauan Hukum Islam. Jurnal Al-Mawarid Edisi XVIII, 2008.
Taufik R. Syam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah: Sebuah Tinjauan Singkat Tentang Materi KHES dan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia. T.t.
Marzuki Wahid, Fiqh Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2001).
Nasarudin Umar, Metode penelitian Gender berbasis tentang literatur Islam, dalam Rekonstruksi wacana kesetaraan gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Kasiasih, (2007), Kebijakan BMT BIF Gedongkuning dalam Menyelesaikan Kredit Macet, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga.
Armia Hidayah, (2008), Hibah dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Other thesis, STAIN Pekalongan.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, Cet. XX, 1987).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Internet ;
0 Response to "KHES ; Angin Baru Dinamika Hukum Islam di Indonesia"
Post a Comment