Dialektika Perubahan Hukum (Antara Modernism dan Traditionalism)

Judul Buku : Aktualisasi Hukum Islam: Tekstual dan Kontekstual
Editor : Akhmad Mujahidin
Penerbit : PT. LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 268 Halaman

Arti Sebuah Perubahan

Umar r.a dalam catatan sejarah, pernah tidak memberikan zakat kepada muallaf. Hal ini didasari bahwa keadaan muallaf pada saat itu, merupakan pilihan yang tegas. Umar r.a benar-benar ingin meyakinkan bahwa syahadat tidak berkaitan langsung dengan faktor ekonomi. Sedangkan pada masa Nabi, para muallaf  lebih solid dan tampak merasakan persaudaraan dengan diikutsertakan sebagai mustahiq. Perubahan ini tentunya juga harus disadari kepada kontekstual hukum. Tidak selamanya kontekstual atau progress hukum merupakan bagian dari liberalisasi terhadap hukum. Sebagai contoh misalnya, pemberian zakat terhadap yatim (anak). Yang dikatakan yatim, adalah seorang Muslim yang belum mencapai masa baligh, lalu hidup dibawah perlindungan wali, kemudian karena “kekurangan harta” hingga ia berhak digolongkan mustahiq. Dengan demikian potret anak yatim yang sudah baligh, lalu hidup dengan jaminan harta yang berlimpah, seyogyanya tidak lagi pantas untuk digolongkan mustahiq.

Dua contoh di atas merupakan perubahan yang signifikan bagi progresses hukum. Namun demikian, secara faktual banyak tawaran perubahan hukum, tidak semata-mata mudah diterima bagi kalangan lokal. Sebagai contoh tawaran Fiqih Lintas Agama (FLA). Perubahan ini sejatinya membumikan konteks hukum Indonesia lebih maju dan berkembang, akan tetapi hanya “dipakai” buat kalangan mereka sendiri. Apa dan mengapa kejadian ini terus berulang? Mengapa tidak semudah itu tawaran dapat diterima langsung oleh masyarakat?

Wajah Perubahan; Sebuah Garis Dasar Trilogi

Dalam ranah hukum positif, bahwa qanun di Indonesia merupakan reformasi dari “hukum-hukum warisan” yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini “warisan” yang dimaksud adalah sisa penjajahan Belanda. Belanda merupakan penjajah yang menempati Indonesia dengan kurun waktu hampir 350 Tahun (3.5 Abad). Dengan begitu implikasi ini semakin terlihat adanya transformasi segala aspek, termasuk ranah hukum. Sebelum menjelaskan bagaimana pengaruh transformasi tersebut, ada baiknya perlu dipahami bahwa dampak psikologis terhadap penjajahan ini menyangkut tiga kelompok penting. Antara lain:

Pertama, dengan kekejaman penjajahan Belanda, ada para pribumi dengan sengaja bersekongkol untuk memusuhi pejuang lokal. Mereka lebih dikenal dengan sebutan antek. Para antek yang dimaksud, sering kali lebih terlihat mencari ‘muka’ di depan juragan, yang dalam hal ini Belanda.

Kelompok kedua, adalah yang memusuhi para penjajah. Kelompok ini secara idealisme menentang penjajahan dan perbudakan. Mereka mengangkat senjata tradisional melalui persenjataan seadanya. Dari senjata bambu runcing dan senjata rampasan. Sejarah mencatat, kelompok ini terdiri dari kaum ulama dan para tentara—kini disebut dengan TNI. Bukan hanya itu, kelompok lain seperti pejuang-pejuang Non-Muslim juga turut andil dalam meraih kemerdekaan.

Kelompok berikutnya, adalah kelompok individualistik. Kelompok dalam kategori ini tidak ikut berjuang, namun sama membenci kependudukan Belanda di tanah air. Dikatakan individualistik, karena mereka lebih memilih berdamai dengan keadaan. Contoh nyata dari kehadiran kelompok ini, adalah etnis Tionghoa. Etnis tersebut tidak mau campur-tangan terhadap perjuangan. Namun kerap kali menjadi sasaran penganiayaan dari kedua kelompok, baik penjajah maupun pejuang.

Pemetaan ini ternyata juga menjadi cikal-bakal sebuah fenomena pejuang-penjajah. Di Irak misalnya, ada kelompok pejuang yang bernaung dibawah al-Anshar al-Islam, Al-Qaeda, dan lain-lain. Lalu ada sipil yang tidak bersenjata, berikutnya para agresor Amerika, NATO dan lain-lain. Dalam ranah politik lokal, juga terlihat garis yang nyata antara Pemerintah dan pro-pemerintah, oposan (oposisi), dan masyarakat awan.

Dengan demikian trilogy pemetaan tersebut juga dapat merambah kepada bahasan dalam problematika perubahan hukum. Ada pihak yang mempertahankan “status quo” dengan terus menjaga nilai tradisonalisme, ada juga dibawah bendera modernisme dalam hal ini kaum liberal. Terakhir umat yang lebih terlihat menjadi “obyek.” Meski kesamaan trilogi ini bukan berarti kaum moderat dapat digaris dengan sederhana; modernism-liberal-pejuang, atau dengan sebaliknya. Dengan begitu, penekanan hanya berpijak garis trilogy dalam hukum, bersifat alamiah.  
                 
Pembaruan; Antara Modernism dengan Traditionalism

Muhammad Abduh dan Jamaludin al-Afghani dianggap sebagai dua sosok perubahan struktural pembaruan hukum Islam. Ide-ide mereka awalnya ditolak karena dianggap baru, aneh. Bahkan tidak sesuai dalam kerangka “syar’i.” Contoh lain pembaruan yang dilakukan oleh Syech Ibn `Abdullah ibn `Abdul al-Wahhab, yang lebih dikenal dengan ajaran Wahabi. Ajaran ini kemudian menjelma dibelakang nama salafush-shalih atau salafiah. Hingga kini warna perubahan itu masih kerap terlihat di Saudi Arabia dan Kuwait.

Perombakan sistemik pada wilayah lokal misalnya Ahmad Dahlan, dan Hasyim Asy’ari. Dua murid Nawawi al-Bantani ini, mengaplikasikan ilmu, dengan terjun ke masyarakat untuk melakukan perubahan struktur-sosial. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang berorientasi pada memberdayakan pendidikan dalam dunia modern, termasuk gagasan “sopo tresno” yang kemudian berubah menjadi Yayasan Aisyiyah. Lalu Hasyim Asyhari melakukan terobosan dengan berkecimpung dalam dunia pendidikan tradisional pesantren yang kerap terlihat meski telah se-abad lamanya.
Trilogy pemetaan tersebut juga dapat merambah kepada bahasan dalam problematika perubahan hukum. Ada pihak yang mempertahankan “status quo” dengan terus menjaga nilai tradisonalisme, ada juga dibawah bendera modernisme dalam hal ini kaum liberal. Terakhir umat yang lebih terlihat menjadi “obyek.” Meski kesamaan trilogi ini bukan berarti kaum moderat dapat digaris dengan sederhana; modernism-liberal-pejuang, atau dengan sebaliknya. Dengan begitu, penekanan hanya berpijak garis trilogi dalam hukum bersifat alamiah.

Selanjutnya, bagaimana nasib re-generasi berlanjut. Ada sejumlah nama Gusdur, Cak Nur, dan sejumlah nama keilmuan lain yang mulai bermunculan. Pada wilayah pola gerakan mahasiswa harus diakui Cak Nur ikut membesarkan nama HMI. Sementara perubahan yang signifikan bagi masyarakat kerap kali belum terlihat. Paramadina menjadi turut serta dalam upaya ‘pembenahan’ terhadap keilmuan studi Islam yang dirintis Cak Nur. Sementara itu “rasa puas” masyarakat masih belum terasa terlihat. Masyarakat dalam segala bidang sosial yang kompleks belum merasakan kontribusi keilmuan dari dua guru besar tadi. Sehingga sangatlah wajar jika Fakhri Aly pernah mengatakan kepada sahabatnya sendiri—Cak Nur—bahwa ia sangat jauh dari realitas sosial. Mungkin nada yang sama juga pernah dilontarkan Sukarno kepada Hatta dengan mengatakan ‘a textbook’ atau pengunyah buku semata.

Jika sekilas menengok pada era kekinian, ada sejumlah nama yang turut membuka wacana perubahan. Garis pertama pada sejumlah nama seperti Ulil Abshar Abdalla, Masdhar F. Mas’udi, Musdah Mulya, Amin Abdullah, Komarudin Hidayat, Gusdur, Jalaludin Rahmat, dan lain-lain. Sementara garis kedua ada sejumlah nama Hartono Ahmad Jaiz, Habib Riziq Shihab, dan lain-lain yang seide dengan mereka. Untuk garis ketiga, ada nama Quraishy Shihab, Hidayat Nur Wahid, Didin Hafiduddin, Abdullah Gymnastiar, Amin Rais dan yang se-ide dengan mereka.

Garis-garis tersebut merupakan bentuk nyata andil para tokoh dalam mewarnai arti sebuah kata “perubahan” bagai corak keberagaman di tanah air. Mereka bergerak pada wilayah masing-masing. Ada wilayah struktural ORMAS, kalangan akademis, gender, hukum Islam, Studi Islam, dan lain-lain. Yang perlu dilihat sejauh ini kontribusi mereka tidak terlalu mengena pada masyarakat. Dapat dibandingkan dengan Ahmad Dahlan—Muhamadiyah, Hasyim Ashary—NU, dan Zarkasy—Gontor.

Kebingungan sederhana inilah yang merumuskan sebuah pertanyaan, apakah corak keilmuan selain ketiga tokoh tadi belum mumpuni? Atau mengapa tidak ada ‘bukti khusus’ kalau masyarakat menerima hasil ijtihad---selain dari ketiga tokoh tadi—yang ditandai dengan tindakan aplikasi langsung dengan masyarakat?

Penutup

Saya menyambut baik kehadiran buku Akhmad Mujahidin dan kawan-kawan. Antara lain terdapat dua garis besar perubahan dalam kontekstualisasi Hukum Islam. Pertama, kesadaran bahwa fiqih perlu sebuah perubahan dalam secara bertahap. Dan hal ini, tentunya tidak dapat langsung “disalin” dari konsep Barat seperti yang selamanya ini dilakukan para Sarjana Muslim pada umumnya. Kedua, perlunya pengkajian aspek sejarah dalam memahami perubahan Hukum Islam. Jika perlu, diberikan konsep khusus “secara utuh” bagaimana sebuah pendekatan sejarah menjadi sebuah metodologi Hukum Islam.

Sekalipun penulis, memberikan beberapa kritik pada buku “kumpulan makalah” yang satu ini, yakni pada aspek kesejarahan dan konteks keindonesiaan sangat minim, namun buku yang disajikan telah memberi warna baru bagi gaung aktualisasi hukum Islam secara global.  Dengan harapan, akan terjadi sebuah dialektika bagaimana seharusnya format sebuah aktualisasi Hukum secara akurat.

Wallahu a’lam bi ash-Shawab.

2 Responses to "Dialektika Perubahan Hukum (Antara Modernism dan Traditionalism)"

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Unknown said...

Kadang saya mikir sendiri, apakah ini tulisan saya sendiri? Mengapa saya begitu "jenius mendadak" waktu dipaksa ikut program doctor, padahal Es dua dan Es Campur juga belum lewat... hehehehe... ternyata kalau kita berdoa dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras, otak kita bisa "lebih hebat" dari yang kita kira..