Dikotomi Keilmuan Islam; Upaya Pengembalian Sebuah Ideologi

Judul Buku: Ideologi Pendidikan Islam; Pradigma Humanisme Teosentris 
Penulis : Prof. Dr. Achmadi
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Kedua, 2008
Tebal : 212 Halaman

Yang perlu dicermati, kesibukan pada wilayah jihad, terkadang melupakan pada sektor jihad lain, seperti pengembangan pendidikan Islam. Sebagai contoh upaya riset yang sejatinya sebagai konsep dari insan ulil albab, dengan nilai kritis-humanis. Pembenahan pada wilayah ini memunculkan dua garis besar para pengembang pendidikan Islam secara nyata. Satu sisi mempertahankan pola timur—hafalan, berhadapan langsung dengan sisi lain yang mementingkan wilayah riset—lompat pagar.
Kolonialisme; Sebuah Pergeseran

Dalam kajian sejarah, pendidikan Islam mengalami kemunduran kala peperangan demi peperangan berlangsung. Peperangan yang dimaksud, perang Salib yang berlangsung antara abad ke-10. Masa ini yang mengecohkan Turki untuk berkonsentrasi pada persenjataan (militer). Hingga akhirnya ia melupakan karakter observasi, sebagai bagian dari tradisi pendidikan Islam sebelumnya. Setelah abad ke-15, Islam  kemudian bergeser ke arah kolonialisme.   Satu demi satu negara-negara muslim jatuh ke tangan penjajah seperti; Indonesia, Mesir, Iraq, Syiria, Libya, Mali, Pantai Gading, al-Jaza’ir, Nigeria, Tunisia, Sudan, Gambia, Somalia, dan lain-lain.

Akibat dari kolonialisme, Islam yang semula dibangun dengan tradisi teosentris semata, kemudian berubah ke arah kajian sufistik. Perlahan tradisi belajar Islam “secara tidak sengaja” dianggap sempurna dengan kajian tersebut. Hal ini dikuatkan dengan penutupan wilayah eksplorasi hukum, dengan masuknya Wahabi sebagai tradisi pengembalian nilai-nilai Islam klasik pada abad ke-17. Bersamaan dengan abad ini, pembaruan dilakukan syaikh Waliyullah di India.

Berangkat dari kajian ini, menghasilkan dua catatan secara khusus bagi negara-negara Islam terkait dengan sejarah pendidikan Islam. Pertama, taklid terhadap konsep sebagai jalan untuk mengisolasi pemikiran luar-dari penjajah. Kedua, sebaliknya adopsi-mentah peradaban penjajah. Ketiga, mengadopsi penjajahan lalu dikembalikan lagi kepada tradisi klasik. Hal ini dikarenakan secara umum, mental bangsa terjajah adalah bersinggungan dengan para penjajah. Contoh kecil misalnya dalam ranah hukum di Indonesia hingga kini masih amandemen dari warisan Belanda. Dengan begitu, corak umum pembaharuan yang dilakukan dengan interaksi dengan dunia luar, dunia bangsa-bangsa asing.

Jika di bagi secara acak, era tahun-tahun masa perang dunia ke-II, terbagi kepada; Islam, Barat dan komunis. Barat “merayu” Islam dengan untuk memusuhi komunisme. Ideologi ini terlihat kerjasama yang baik Barat-Islam di Afghanistan. Setelah upaya ini dirasakan berhasil, Barat kemudian “mencari musuh baru.”

Tertuang dalam tesis Huntington, bahwa Barat dalam hal ini banyak “curiga” bahwa agama, tidak dapat menyelesaikan problem-problem kontemporer. Barat melepaskan wilayah sains dan agama, Barat di depan mata unggul hingga kini. Dikotomi ini kemudian juga diikuti negara-negara Islam. Satu sisi, ada beberapa orang yang belajar nasionalisme—misalnya Turki dan Indonesia—sebagai jalan terbaik memajukan bangsa. Lalu ada juga berusaha menunjukkan kembali nilai-nilai Pan-Arabisme, sebagai jalan menentang babak baru pergesekan Barat-Islam. Nilai ini yang selalu dianggap selaras dengan jejak perjuangan Islam atas nama Tuhan yang disebut dengan Jihad.

Yang perlu dicermati, kesibukan pada wilayah jihad, terkadang melupakan pada sektor jihad lain, seperti pengembangan pendidikan Islam. Sebagai contoh upaya riset yang sejatinya sebagai konsep dari insan ulil albab, dengan nilai kritis-humanis. Pembenahan pada wilayah ini memunculkan dua garis besar para pengembang pendidikan Islam secara nyata. Satu sisi mempertahankan pola timur—hafalan, berhadapan langsung dengan sisi lain yang mementingkan wilayah riset—lompat pagar. Pada sisi pertama, sudah terwakili corak keilmuan tradisional pesantren sejak ratusan tahun silam. Perlu menjadi perhatian pada sisi lainnya, ideologi yang nyaris musnah tanpa bekas. Tarik-menarik konsep ini kemudian menjadikan pendidikan Islam  di Indonesia berwajah ganda.  Bahkan dapat “tanpa wajah” sama sekali dengan kelahiran dikotomi pendidikan Islam.     

Dikotomi di depan Mata

Terlepas dari sejarah singkat demikian, akhirnya nilai-nilai inilah yang mewarnai pendidikan Islam di Indonesia. Satu sisi untuk mencerdaskan, sisi lain sebagai basis mengusir penjajah Belanda (perjuangan). Pola ini terlihat dari pendirian pesantren-pesantren di tanah air. Setelah masa proklamasi usai, pemerintah mulai melestarikan dua corak pendidikan sekaligus. Pendidikan umum, warisan Belanda, dan pendidikan Islam berbasis madrasah Aliyah. Lantas seiring pertumbuhan orde baru, madrasah Aliyah mulai bergeser. Dari pola pendidikan corak ini seperti ini kesulitan untuk menjawab dua hal pokok bagi lulusan-nya. Pertama pendidikan setelah kuliah, kedua lapangan kerja. Hal inilah yang membuat dunia pendidikan Islam menjadi kian terasing. Ada semacam unsur “keterpaksaan” jika harus mengambil sekolah-sekolah agama. Pada akhirnya, pola ini membangun suatu kerangka transplantasi. Pola kurikulum SMU dicangkokkan pada sekolah-sekolah MAN. Dengan harapan, masih adanya unsur kesinambungan dalam studi. Baik menempuh perguruan tinggi umum, maupun perguruan tinggi Agama Islam.

Dari kesejajaran ini, ternyata ada unsur pendidikan lain yang terlewatkan, yakni SMK. SMK lahir sebagai penengah antara keduanya, yang secara khusus di-oreintasikan untuk menjawab kebutuhan negara berkembang, yakni industri. Industri di tanah air menyerap berbagai sektor bidang seperti STM, SMEA, SMKK, dan SMIP.

Jika dicermati, pola bangunan pendidikan di Indonesia sudah bersaing mengejar industrialisasi. Basis inilah yang terlupakan, bahwa di negeri ini juga dikenal sebagai negara agraris dan negara maritim. Lebih lanjut, ternyata pola bangunan pendidikan seperti ini tampaknya membawa Indonesia hanya pada dunia sains-modern. Nilai-nilai humanisme-teosentris pada wilayah ini yang melepaskan peran-peran agama. Di sekolah menengah—selain MAN—porsi pendidikan agama hanya melingkupi 2 jam saja. Sementara pendidikan-pendidikan normatif seperti, pendidikan kewarganegaraan tidak aplikatif. Mereka hanya bisa menghafal barisan nilai-nilai dasar negara. Wilayah ini akan lupa—bahkan hilang sama sekali, jika sekolah tamat. Pada intinya, akibat kolonialisme memunculkan suatu dikotomi nyata—dalam pendidikan Islam—yang melunturkan ideologi.  

Ideologi Pendidikan Islam; Identitas yang Terlupakan

Sejak lama para sarjana Muslim bersikeras untuk membentuk ritme kedua bagi corak pendidikan Islam. Pada ritme pertama gagasan pendirian madrasah sebagai skenario ganda, melawan penjajahan sekaligus mencerdaskan ummat. Setelah penjajahan usai, ritme kedua inilah yang perlu ditekankan. Penyesuaian terhadap tuntutan pendidikan modern, terkadang mengabaikan wilayah etika dan estetika. Gejala ini dapat dilihat dari memudarnya—bahkan hilang sama sekali pada ranah metodologi. Pada akhirnya penyelenggaraan pendidikan Islam merambah pada kehilangan ideologi.

Atas dasar inilah Ahmadi, mencoba memberikan garis ulang terhadap sebuah serbuan ideologi kontemporer yang melingkupi; pluralisme, post modern dan feminisme. Ahmadi tidak serta merta memposisikan “serbuan” tersebut—sebagai implikasi dari kolonialisme—menjadi rivalitas konsepnya. Apa yang ditawarkan hanyalah sebatas ‘alternatif.’ Sebagai misal pada bahasan “kualitas manusia menurut al-Qur’an.” Pada bagian ini, memang terjadi warna yang berbeda dengan pembanding yang pertama. Antara lain menurutnya; Jasmani yang sehat, kualitas Iman, amal shaleh, takwa, ulul albab, dan andil dalam amar ma’ruf-nahi munkar. Hemat penulis hal-hal inilah kadang yang sukar dicermati ketika sebuah pendidikan Islam harus mengalami penyesuaian.

Meski begitu, apa yang tertulis dalam buku Achmadi, hanyalah tampilan “tawaran.” Perlu dilakukan hal-hal yang lebih rinci bagaimana bentuk sebuah ideologi pendidikan dapat selaras dari masa prophetic hingga kini berjalan secara harmonis, berikut contoh nyata yang dapat dilakukan bagi para pemerhati kajian pendidikan Islam.

Wallahu a’lam bi ash-Shawab.

2 Responses to "Dikotomi Keilmuan Islam; Upaya Pengembalian Sebuah Ideologi"

Abu Khaulah zainal Abidin said...

Assalaamu alaikum.

Dalam kajian sejarah, pendidikan Islam mengalami kemunduran kala peperangan demi peperangan berlangsung.
Menurut saya ini kesalahan pertama dari tulisan ini, setidaknya karena meletakkannya di awal penulisan, sehingga seakan-akan tak ada yang lebih pantas untuk ditampilkan sebagai sebab kemunduran.

Hal ini dikuatkan dengan penutupan wilayah eksplorasi hukum, dengan masuknya Wahabi sebagai tradisi pengembalian nilai-nilai Islam klasik pada abad ke-17
Ini kesalahan kedua, yakni penggunaan kata Wahabi -yang tendensius-, yang tidak dikaji secara benar apa yang dilancarkankan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan siapa pula yang pertama memunculkan istilah Wahabi. Apa yang anda maksud dengan penutupan wilayah eksplorasi hukum, juga tidak jelas. Justru setelah zaman beliau orang fanatisme mazhab mulai terkikis. Dan inilah yang tidak disukai oleh orang-orang yang fanatik dengan mazhabnya, sehingga mulai menghasut dan memunculkan istilah Wahab. Yang beliau lakukan tidak lain memurnikan kembali ajaran dan praktek Islam dari penambahan-penambahan dan pengada-adaan.

Ketiga, anda lupa, bahwa sejarah perjalanan umat Islam (Pertumbuhan mazhab-mazhab)justru merupakan faktor terpenting utk dibahas jika kita ingin membahas Dikotomi Keilmuan di dalam Islam.

Unknown said...

Waalaikum salam warah matullah wabaro katuh..
Makasih gan, masukkannya sangat berarti..