Tema unsur “porno.” Ada tanda petik khusus bagi kata “porno” dari penulis, karena unsur yang satu ini, masih terdapat perdebatan paradigma dalam memandang “film porno.” Bagi sebagian orang, memakai bikini merupakan hal biasa, tapi bagi yang lain dapat menjadi selera “murahan” jika produser dan sutradara hanya bergelut pada “seputar pusar.” Ambil contoh dua film “Air Terjun Pengantin” dan “Topeng Pengantin” yang memiliki bumbu cerita pada kedua hal tadi. Tamara dan kawan-kawan tidak mampu menarik perhatian penonton, ketika harus “bugil” di sebuah perahu dan pantai. Celakanya, hal yang sama juga terjadi pada film “Topeng Pengantin”—yang mengaburkan tema unsur balas dendam.
Di negeri ini, etika dan norma masih jadi perdebatan serius. Undang- Undang pornografi dan porno aksi menjadi sukar dibatasi karena menyangkut banyak kepentingan dan keragaman budaya. Dari itu, para pembuat film hendaknya “lebih cerdas” melihat pada wilayah seks dan porno bukan pasar pendongkrak yang baik. Lalu pada tema-tema kekerasan fisik juga “terlalu basi” jika menyorot perkelahian semacam masal—tawuran. Bukankah suguhan anak sekolah tawuran, supporter bola rusuh, mahasiswa saling lempar batu, dan anggota dewan yang saling adu jotos, sudah sering terlihat di berita, infotainment dan entertainment?
Berlawanan dengan tema kekerasan, film “Laskar pelangi”, “Denias” dan “Alangkah Lucunya Negeriku,” memiliki kesamaan tema pendidikan. Sayangnya pada judul terakhir kurang naik rating, karena lemahnya struktur cerita. Lalu mengapa film August Rush, Knight and Day, Pursuit Happiness, menjadi kesan tersendiri di hati penulis?
Menarik, jika melihat dominasi dunia per-film-an di Indonesia, yang kini di angkat dari Novel. Sebut saja Laskar Pelangi dan Sang pemimpi, yang keduanya masing-masing karya penulis novel yang sama. Selain dua judul patut juga diambil pelajaran, film Ayat-Ayat Cinta dan KCB (Ketika Cinta Bertasbih) karangan Habiburrahman. Tema KCB sampai melangit dalam dunia film di Indonesia, dengan dukungan rating tinggi pada Novel yang menjadi best seller di negara tetangga, Malaysia. KCB dan Laskar Pelangi tidak menampilkan hal-hal kekerasan—perkelahian sengit—pada struktur cerita. Pada KCB memang digolongkan novel “religi.” Namun jika dilirik selera yang sama pada film Perempuan Berkalung Surban (PKS), konflik kekerasan fisik terlihat jelas.
Telepas dari dua pengarang ini, dapat kita tarik beberapa hal yang menjadi “selera penonton” di Indonesia, meski segmen penonton beragam bagi tiap produser. Antara lain;
Tema Kekerasan
Bangsa ini terkenal dengan dunia ribut dan rusuh. Sejumlah film seperti “Serigala Terakhir” tidak mendapat rating yang cukup baik, manakala alur cerita yang runtut tapi banyak darah ber-ceceran dimana-mana. Barangkali film ini berusaha menampilkan kejayaan film “Mengejar Matahari” yang juga memiliki keseragaman tema, dengan bumbu persahabatan. Atau jika melihat ending cerita—pada Serigala Terakhir—yang mirip dengan film luar negeri “distrik 13?” tema-tema tersebut tidak sanggup menggerakkan “minat” penonton di tengah Indonesia yang penuh konflik horizontal pada sejumlah daerah di Indonesia. Adanya konflik merupakan “nyawa” dari sejumlah alur. Namun, jika konflik terlalu penuh darah—sebut saja dalam film horror, tidak juga menarik peminat di tanah air bagi remaja putri dan ibu rumah tangga.
Di negeri ini, etika dan norma masih jadi perdebatan serius. Undang- Undang pornografi dan porno aksi menjadi sukar dibatasi karena menyangkut banyak kepentingan dan keragaman budaya. Dari itu, para pembuat film hendaknya “lebih cerdas” melihat pada wilayah seks dan porno bukan pasar pendongkrak yang baik.
Film “Funk in Love,” merupakan model drama unik dengan sedikit bumbu komedi dan kekerasan yang inspired by true story. Sayangnya, ada kendala serius kala “bumbu kekerasan” terlalu bombastis. Kekerasan, memang bagian dari dunia kehidupan punk yang “keluar dari norma” masyarakat. Demikian karena, pada tersebut, berbicara soal pernikahan. Pada adegan kehilangan cincin, lalu adanya hajatan, indikasi dari habit masyarakat. Jujur, penulis sudah tentu salah jika melihat punk memilih jalur pernikahan sebagai upaya halal penyatuan dua hati. Bukan mendukung prostitusi, namun bagi penulis, Punk dalam film itu menjadi kehilangan indentitas. Jadi sebetulnya cara pandang penulis yang salah karena tidak memahami punk—karena bukan punk dalam dunia nyata,—atau memang pada film tersebut tidak berani “melawan arus”?
Tema Horor
Luar biasa bagi film Rumah Dara pada alur cerita, penokohan dan akting mereka. Penulis harus ekstra keras, kala melihat film ini. Bukannya “penakut,” bagi penulis perlu energi besar kala melihat film tersebut memiliki yang kadang “tersedot” pada lokasi. Penulis tergolong indigo-teleport, sehingga kadang “bisa pindah” ke lokasi tersebut, meski hanya menonton pada layar kaca. Alhamdulillah, sampai sekarang belum sempat pindah ke lokasi syuting Rumah Dara.
Kita sudahi soal indigo. Tema film-film horor di Indonesia kadang hanya sebuah bungkusan “film porno.” Lihat misalnya film “Susut Pocong,” “Dendam Hantu Mupeng”, “Tali Pocong Perawan”, “Hantu Pucuk Datang Bulan”, dan “Diperkosa Setan”. Tidak keberatan kalau pendapat penulis mengatakan film tersebut “nggak laku?” Ada “bumbu porno” yang melewati kadar pada film-film tersebut. Akibatnya tema yang sesungguhnya jadi kabur. Kita bisa belajar dari film Rumah Dara, jika ingin membuat film dengan tema horror. Tapi, kok ada logo freemasonry yang sangat jelas dalam film tersebut. Ada siapa dibalik film tersebut?
Tema Drama
Pada film drama memang dapat terbagi menjadi; religi, komedi, keluarga, dan percintaan. Sempat penulis terheran, manakala tema-tema Habiburrahman selalu dibungkus dengan agama, cinta, dan keluarga. Pembaca juga berhak menilai tema-tema film-film Habiburrahman. Namun yang jelas, hingga kini trend untuk film drama mulai menggiat kembali. Film The Virgin, merupakan contoh drama keluarga yang menarik pada segmen remaja. Ada tema sejenis, seperti film ML (Making Love), lalu Buruan Cium Gue (BCG)—yang sempat kontroversi. Sayangnya, mengapa film ML tidak juga menarik, padahal dukungan alur cerita yang kokoh dan akting yang bagus jelas terlihat pada film tersebut? Hemat penulis, barangkali tema remaja dan seksualitas masih terlalu tabu di negeri ini. Tidak ubahnya dengan film BCG, pada film ML dikisahkan anak-anak kampus yang “doyan seks.” Di Barat, Film “sex and city” dan “Beverly Hill” mampu menyita hati penonton dengan kultur budaya mereka. So, di Indonesia belum tentu.
Penulis mengakui—terutama di Jogja—seks dan kampus sudah hampir basi. Terlalu banyak pasangan mahasiswa memilih “jalur bebas ikatan” dari pada pernikahan. Otak-otak pinter mereka terbius pernikahan merupakan akhir dari studi. Dengan pernikahan, studi menjadi selesai dengan derita, kandas di tengah jalan, dan beragam ketakutan lain dari orang tua. Yang menjadi pertanyaan, apakah free sex langkah yang baik untuk tetap melanjutkan studi? Atau free sex jaminan perkawinan? Pada akhirnya, penulis menawarkan tema perkawinan/pernikahan saja, sebagai ide “agak beda” dari yang lain. Masih ingat dengan film Siti Nurbaya? Bagaimana tanggapan pembaca?
0 Response to "Sulitnya Membuat Tema Film di Indonesia"
Post a Comment