Rekam Jejak Langkah Muhammadiyah dalam Pergulatan Politik

Judul : Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis
Penulis : Hajriyanto Y. Thohari
Penerbit : PSAP, Muhammadiyah  Jakarta
Cetakan : Pertama, 2005
Format digital : 24 Juni 2009
ISBN : 9799830567, 9789799830562
Tebal : 272 Halaman  (softcover)
Size : 14x21 CM
Peresensi : Badru Zaman

"Ketika bola mati siap dieksekusi di depan gawang lawan. Eksekutor pun sudah ambil ancang-ancang merobek ganasnya pertandingan. Apa dan mengapa tendangan itu justru malah melesat jauh dari mistar gawang. Bola keluar lapangan, simpatisan teriak kecewa. Penonton akhirnya bangun dari tempat duduk, dan mencari pintu arah keluar."

Hajriyanto Y. Thohari—selanjutnya disebut Hajriyanto saja, menilai upaya awal pendirian partai dengan basis massa utama dari elemen Muhammadiyah sudah menuai kontroversi. Dalam kata pengantar, ia sempat mengutip dari salah seorang ketua umum PP Muhammadiyah pada waktu itu, Yunus Anis, yang kontra terhadap candu politik praktis. Sikap Yunus Anis, yang tertuang dalam khutbah pada muktamar ke-35, dengan tegas tidak menganjurkan, juga tidak mau melarang.

Puluhan tahun setelah pendapat Yunus Anis, angin reformasi bergulir. Mempertimbangkan situasi dan aspirasi, akhirnya moment naiknya figur Amin Rais, tidak disia-siakan. Amin, yang saat itu masih menjadi ketua PP Muhammadiyah, memprakarsai kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN). Elektabilitas Amin Rais yang sebagian didukung—bisa dikatakan total—warga Muhammadiyah, membuat partai ini menjadi terlihat besar. Meski ia sendiri, mengusung bukan hanya sebagai partai milik Muhammadiyah. PAN hadir sebagai partai nasionalis, yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, atau multikultural. Hasil perhitungan pemilu 1999, justru sebenarnya 'memaksa' partai Islam bersatu. Hal ini terlihat dengan jumlah suara yang terbelah-belah. PAN sendiri hanya mengantongi sekitar 10% dari total suara.

Barangkali, ide Amin pada waktu itu, dengan membuat 'kamuflase' PAN menjadi partai terbuka karena ia sadar, bahwa partai Islam 'kurang menjual nama.' Wajah Islam di Indonesia, mustahil akan menjadi 'ortodok sepenuhnya' atau sebaliknya, menjadi 'sekuler sepenuhnya.' Hampir semua analis—pada waktu itu—dapat memahami, mengapa Amin mengambil langkah yang demikian penuh resiko.

Terlepas dari Amin Rais dan langkah selanjutnya dari PAN, buku Hajriyanto tentang Muhammadiyah  bercerita masa lalu. Masa dimana Amin Rais perlahan mundur keluar lapangan. Ia mencari kembali 'permainan lama,' mengabdi kepada dunia pendidikan, setelah gagal meng-eksekusi bola mati, dengan mencalonkan diri sebagai presiden.

Penulis buku ini menilai, bahwa gagalnya partai-partai Islam meraih simpatik pada pemilu 1999, karena 'perlu sekolah lagi.' Pada Bab awal, bagi Hajriyanto, dalam politik tidak hanya bisa mengandalkan semangat dan keberanian semata. Ada unsur-unsur lain, yang seharusnya setiap partai Islam mau belajar lagi, mau sekolah (lagi).

Begitu pula dengan Muhammadiyah, ada beberapa catatan penting, apakah PAN sebagai wadah utama aspirasi warga Muhammadiyah, akan terus menjadi 'lurus' ke partainya, atau berbelok ke lain hati, suatu hari nanti.

Soal sistematika buku. Rangkaian demi rangkaian buku ini tersusun secara sistematis. Barangkali, buku ini memang di-format seperti disertasi. Atau memang, kapasitas Hajriyanto memang sudah sangat mumpuni dalam sebuah penelitian.

Bab awal, pembaca dikenalkan bahwa politik sejatinya memang sebuah siklus. Kadang maju-mundur, redup, tumbuh, dan fenomoena lain, sehingga untuk membaca partai dengan sudut pandang tertentu, dapat saja meleset. Apalagi dengan banyak sudut yang tidak jelas.  

Kemudian, untuk mempertemukan Muhammadiyah  dalam sebuah pergulatan politik islam di tanah air, Hajriyanto mulai panas pada Bab II. Tarik menarik beragam wajah Muhammadiyah  sebagai ormas Islam, bertautan dengan wajah lama dunia politik, yang seakan menjadi ambigu. Antara gerakan dakwah, gerakan sosial, dan gerakan politik, malah menjadikan 'kebingungan baru' bagi pengamat luar.

Tidak ada kesimpulan khusus arah gerak yang diinginkan oleh penulis buku ini. Inilah yang patut di-kritisi, agar ada pesan khusus pada kader-kader Muhammadiyah  selanjutnya. Buang jauh-jauh tradisi 'membisu' jika ada sebuah kebenaran yang mulai bergeser. Barangkali, ini karena Hajriyanto sebagai kader yang memang lahir dari Muhammadiyah murni, namun dengan 'jaket kuning' bukan 'jaket partainya' sendiri. Lagipula ia sempat di –ICMI. Ada kesan pada masa lalu, kalau ICMI hanya senjata lain dari orde baru yang berwajah cendekiawan-agamais.  

Menjelang bagian akhir, hanya terlihat sosok Amin Rais— yang jika disimpulkan—bagi Hajriyanto merupakan orang yang tepat. Tanpa bermaksud merendahkan pemimpin Muhammadiyah  pada masa berikutnya, Amin dinilai sebagai icon bagai sebuah lokomotif perubahan yang menarik gerbong dengan banyak penumpang. Sehingga, ketika gerbong mulai mogok, perlu kerja keras untuk mencari lokomotif dengan kekuatan yang lebih baik dari Amin. Atau minimal bisa sekelas dia.
   
Bagian paling akhir diisi dengan biografi dari penulis buku. Dimulai dari sejak menempuh SMU, lalu sempat menekuni jurusan antropologi pada jenjang pasca sarjana. Melanjutkan ke program doctor juga pada jurusan yang sama. Sehingga wajar, kalau corak dalam menyikapi sebuah gerakan sekelas Muhammadiyah  tidak berkutat pada wilayah normatif dan terlalu konsen pada wilayah politik semata. Bukunya bisa melihat Muhammadiyah  sekilas dari sisi antropologi dalam melihat pergulatan politik. 

Wallahu a'lam bi ash-shawab. 

1 Response to "Rekam Jejak Langkah Muhammadiyah dalam Pergulatan Politik"

Logo PAN said...

barangkali anda butuh logo vector PAN , anda bisa mengunjungi blog q